Ujian Nasional (UN),,
satu frase yang selalu menjadi mimpi buruk bagi siswa kelas 3 SMA tiap tahunnya.
menjadikan UN sebagai syarat kelulusan, nilai batas minimal kelulusan yang terus meningkat, sampai ancaman-ancaman teknis lainnya (seperti kebocoran soal atau prasarana yang minim) terus menjadi ancaman dan bayang-bayang yang menakutkan bagi semua pihak yang berkepentingan akan kelulusan dari UN tersebut.
mengapa saya menyebutkan "semua pihak", tidak langsung merujuk kepada siswa? karena UN sekarang sudah menjadi kepentingan banyak pihak, seperti guru, kepala sekolah, bahkan Kepala Dinas Pendidikan daerah setempat. hal ini terjadi karena angka kelulusan di tiap sekolah dan daerah menjadi dasar penilaian, baik atau buruk, kualitas pendidikannya. Dan penilaian tersebut berpengaruh kepada dana bantuan yang diterima oleh Dinas Pendidikan daerah setempat dari Pemerintah Pusat, atau oleh sekolah ybs dari Dinas Pendidikan daerahnya.
perlu dikemukakan disini bahwa kebijakan UN ini memang bukan tanpa alasan. pemerintah pusat, melalui pejabat kedua tertingginya mengatakan bahwa "Bukannya pemerintah tidak mendengarkan (kritik terhadap kebijakan UN, red). Pemerintah tidak mau berubah demi tujuan meningkatkan mutu pendidikan. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi" (http://www.menkokesra.go.id/content/view/4073/39/). Dari pernyataan tersebut, alasan peningkatan mutu menjadi senjata utama dari pemerintah pusat. sekilas alasan tersebut sebenarnya mulia, namun alasan tersebut jelas melupakan ciri khas dan kondisi real yang terjadi di Indonesia.
peningkatan mutu yang diiringi dengan kenaikan biaya merupakan paham individualisme atau kapitalisme, yang identik dengan kebebasan pribadi. paham ini sangat mengagungkan persaingan dan yang bermodal akan menang, karena semua hal dinilai dengan uang. paham ini berlaku awalnya di Eropa Barat. sedangkan Indonesia memiliki ciri khas sendiri dalam ideologinya, yaitu Pancasila. penganutan Pancasila di Indonesia bukanlah tanpa alasan. Pancasila adalah gambaran dari cara pandang bangsa Indonesia, yang merupakan rechtsidee dari Negara Indonesia. dalam Pancasila, paham yang dianut adalah kekeluargaan, yang identik dengan kebersamaan. ada perbedaan mendasar dari kedua konsep ini, yaitu dalam paham individualisme para peserta didik adalah konsumen yang berlomba-lomba mendapatkan pendidikan yang berkualitas, dan karena banyak permintaan akan pendidikan yang berkualitas maka menjadikan harganya menjadi mahal. sedangkan dalam paham Pancasila, peserta didik adalah warga negara yang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, sehingga negara menjamin seluruh warga negara untuk mendapatkan pendidikan, tanpa takut mahalnya biaya. sehingga dapat dikatakan bahwa paham yang dianut dalam kebijakan UN saat ini tidak sesuai dengan paham Pancasila yang dianut negara Indonesia.
alasan peningkatan mutu pendidikan pun tidak peka terhadap kondisi masyarakat. hal ini terlihat dari masih banyaknya peserta didik yang tidak lulus UN, bahkan ada lebih dari 30 sekolah yang 100% tidak lulus UN 2009. selain itu, budaya curang pun menjamur demi mencapai kelulusan dalam UN. hal ini terjadi karena kebijakan ini terlalu menekan para peserta didik dan lemahnya pengawasan pemerintah akan pelaksanaan UN. kondisi menekan siswa tersebut terjadi bukan hanya karena mental para peserta didik yang bermasalah, tetapi juga karena prasarana pendidikan yang tidak merata, sehingga ada beberapa sekolah yang kualitas pendidikannya memang tidak setara dengan sekolah di wilayah lain. sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan mutu yang diusahakan tersebut dilakukan di "daratan" yang tingkat kekokohannya belum merata. walhasil, mutu yang diharapkan meningkat tersebut niscaya dapat runtuh dikemudian hari.
salah satu bukti yang menyatakan bahwa kebijakan ini bukan produk asli Indonesia adalah lagi-lagi pernyataan dari pejabat kedua tertinggi di negeri ini, yaitu "negara-negara lain yang maju juga menerapkan UN...". perlu diketahui bahwa tiap negara memiliki karakteristiknya masing-masing, sehingga kebijakan di negeri lain belum tentu cocok diterapkan di negara lain. apalagi kalau kebijakan di negara maju akan diterapkan di negara berkembang, akan banyak perbedaan yang mendasar, sehingga perlu penelitian dan kajian yang baik terlebih dahulu, terutama segi filosofis, yuridis dan empiris (sosiologis). dan hal tersebutlah yang menjadi kelemahan terbesar dari kebijakan UN di Indonesia...
hmmm... tulisan yang bagus, soalnya risdie belum bisa bikin tulisan kayak gini! heheee...
BalasHapusiya nih, beberapa taun kebelakang banyak terjadi kasus terkait UN. Apalagi taun ini sampe masuk koran segala, list sekolah2 di Indonesia yang melakukan pelanggaran saat penyelenggaraan UN. pake disebutin lagi nama sekolahannya!!! untung sekolahan kita gak masuk list ya jri, heheee...
kalo dari pandangan orang awam kayak risdie, risdie tetep setuju qo dengan adanya UN asal diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan di tiap sekolah... ngomongin soal pendidikan gak bakal ada habisnya ya, makanya pendidikan menjadi salah satu fokus utama pemerintah (apalagi jaman kampanye pilpres kayak sekarang! heheee....). mudah2an sih masyarakat dan mahasiswa (tentunya) masih terus peduli dan gak berhenti berjuang demi pendidikan Indonesia.
btw kesimpulannya "si penulis" setuju atau gak nih atas penyelenggaraan UN???
oiya,,sikapnya ga jelas ya...tapi overall dan secara tersirat kegambar qo,,dalam konteks penentu kelulusan siswa dengan minimal nilainya itu, sulit untuk diterima di negeri yang serba heterogen dan menjunjung tinggi nilai2 budaya daerah masing2 ini...UN bisa masuk logika kalau sebatas negara atau pemerintah pengen tau kualitas pendidikan Indonesia udah sejauh apa...
BalasHapusbtw makasih ya die udah mau nanggepin,,tunggu tulisan2 berikutnya,,hehe..