Dari kecil saya kenal transportasi "bajaj" itu sebagai kendaraan khas Jakarta. Warnanya orange, rodanya tiga, dan kendalinya bukan pada stir kaya mobil, tapi stang kaya motor. Karena saya kecil di bogor, maka bayangan saya akan bajaj ga beda jauh sama "bemo".
Pertemuan pertama saya sama bajaj itu waktu TK jalan2 ke Dufan, di Jakarta. Dari saat itu saya mulai familiar dengan bentuknya, yang ternyata ga persis seperti bemo, lebih khas bentuknya. Sayangnya dalam pertemuan pertama itu saya ga sempat mencoba, karena saat itu bajaj-nya hanyalah pajangan yang dipamerkan. Walhasil saya hanya mendapat gambaran visual saja akan bajaj yang selama ini hanya "katanya" saja.
Praktis setelah itu saya tidak pernah bertemu lagi dengan bajaj, hanya melihatnya saja di TV, atau gambar-gambar di koran atau majalah. Kondisi ini terjadi sampai saya kuliah, karena dari TK sampai SMA saya terus berdomisili di Bogor, dan kalaupun ke Jakarta ya pake mobil pribadi. Pada saat kuliah pun sebenarnya saya sudah sempat mencoba untuk pertama kalinya, tapi sangat singkat, karena waktu itu belum sampai satu KM bajaj sudah mogok. Walhasil karena harus cepat, jadinya meneruskan perjalanan dengan naik taksi.
Pengalaman saya pertama menaiki bajaj adalah ketika setelah lulus kuliah. Pada saat itu saya hendak ke suatu tempat dan di sekitar situ tidak ada ojeg, moda transportasi yang biasa saya gunakan. Daripada lama, akhirnya saya stop bajaj dan menaikinya. Itu pertama kali saya merasa excited naik bajaj, luar biasa! sensasi getarannya mengalahkan getaran bemo yang sudah cukup familiar untuk saya. Dan dengan dikendalikan menggunakan stang, ternyata bajaj lebih fleksibel dibandingkan bemo. Ditambah lagi pada saat itu suasana jalan kosong karena bukan di jalan ramai, jadi bajaj lumayan leluasa dalam mengeksplorasi jalan dengan kecepatan tinggi.
Berbekal pengalaman pertama saya pun ketagihan naik bajaj. Sampai satu waktu, saya mencoba kembali mengguankan bajaj. kali ini jalannya ramai, jalan protokol di Jakarta. Ternyata sensasinya berlipat ganda! wow! Bajaj ini ga ragu untuk bergulat dengan mobil-mobil lain bahkan motor, dan terlihat beberapa kali motor bahkan "segan" dengan bajaj. sepertinya karena memang mereka berpikir ga ada untungnya kebut-kebutan sama bajaj :).
Dari pengalaman itu saya banyak belajar bagaimana akhirnya moda transportasi seperti bajaj, yang umurnya relatif tua dan kuno (mulai diimpor ke Jakarta pada tahun 1975, www.jakarta.go.id), harus bergulat dengan kendaraan-kendaraan lain yang lebih modern dan canggih. Begitu juga dengan manusia, dengan umur yang terus bertambah, seseorang harus bersaing dengan anak2 muda yang relatif lebih lincah dan bertenaga. Tapi buktinya bajaj masih tetap ada sampai sekarang, masih eksis dijalanan ibukota!
Namun, dalam sejarahnya bajaj pun sempat mengalami cobaan. Dari mulai diberhentikannya impor pada tahun 1980, sampai "penertiban" yang terus berjalan dari tahun 1982 sampai tahun 90-an. Bahkan mulai 2001, Pemprov Jakarta mulai memperkenalkan saudara tirinya, yaitu "Kancil", yang pelan-pelan diproyeksikan mampu menggantikan kebutuhan masyarakat akan bajaj. Tetapi apa yang terjadi? Bajaj tetaplah bajaj yang tetap menghiasi sejarah panjang Kota Jakarta. Fakta ini juga yang kemudian menunjukan bahwa pengalaman akan cobaan bisa membuat seseorang tetap eksis dan bertahan dengan pemikiran serta sikapnya, tak peduli perkembangan zaman. Bajaj juga mengajarkan kita bagaimana untuk tidak pasrah pada keadaan atau bahkan rezim yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar