2009/09/07

Naskah Akademik RUU itu Penting, Tapi...

Keberadaan undang-undang di Indonesia sangatlah penting. Dalam definisinya, undang-undang diartikan sebagai Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.[1] Dalam definisi tersebut jelas bahwa undang-undang adalah salah satu jenis dari Peraturan Perundang-undangan dan harus dibuat secara formal atau oleh badan yang memiliki kewenangan, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dengan persetujuan Presiden Republik Indonesia (selanjutnya disebut Presiden). Pentingnya sebuah undang-undang bisa juga dilihat dari paham yang dianut oleh negara Indonesia, yaitu paham negara hukum. Hal ini tercantum jelas dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945 pasca amandemen ke-4, dalam pasal 1 ayat (3) yang menyatakan dengan jelas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.[2] Pengertian Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum (rechstaat) tidak hanya berhenti pada pengertian bahwa segala sesuatu di negeri ini senantiasa harus berdasarkan hukum,[3] karena Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) dalam arti negara pengurus (verzorgingsstaat).[4] Hal tersebut mengisyaratkan bahwa negara juga bertugas untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pasal 1 ayat (3) UUD 1945 pasca perubahan, yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sangat erat kaitannya dengan Indonesia sebagai negara kesejahteraan (welfare state).[5] Hal ini dapat dibuktikan dengan diaturnya tugas negara dalam mensejahterakan masyarakat Indonesia dalam pasal 34 UUD 1945 pasca perubahan dan alinea ke-4 pembukaan UUD 1945.[6] Dengan adanya tugas negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka hal tersebut jelas menunjukan bahwa keberadaan undang-undang, sebagai salah satu bentuk dari peraturan perundang-undangan, sangatlah penting. Terutama karena undang-undang adalah bentuk campur tangan negara dalam bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta lingkingan hidup.[7]


Pentingnya suatu undang-undang di Indonesia juga dipengaruhi oleh dianutnya tradisi hukum Eropa Kontinental[8], walau tidak sepenuhnya. Tradisi Eropa Kontinental ini merupakan warisan sistem hukum Belanda yang mulai masuk dan terinternalisasi di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Ciri yang menonjol dari tradisi hukum Eropa Kontinental adalah mengutamakan hukum tertulis (termasuk undang-undang), sehingga negara-negara yang menganut sistem ini selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk tertulis.[9] Dalam praktiknya, terutama dalam peradilan, hakim-hakim di Indonesia lebih mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan daripada kepada yurisprudensi.[10] Selain itu juga di Indonesia mengenal peradilan tata usaha negara, dimana hanya dikenal dalam negara penganut tradisi hukum Eropa Kontinental saja, mengingat dalam tradisi hukum Anglo Saxon semua orang (baik pejabat atau bukan) sama kedudukannya di depan hukum.[11]


Pentingnya peran undang-undang di negara Indonesia membuat tugas para pembuat undang-undang, yaitu DPR dan Presiden sangat berat untuk membuat undang-undang yang tidak hanya memiliki daya laku (validity) tetapi juga memiiki daya guna (efficacy). Perlu diketahui sebelumnya bahwa prinsip negara hukum yang dianut di Indonesia adalah negara hukum modern, dimana fungsi undang-undang, dalam suatu negara, bukanlah hanya memberi bentuk kepada endapan nilai-nilai dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat, dan undang-undang bukanlah hanya sekedar fungsi negara di bidang pengaturan. Namun peraturan undang-undang adalah salah satu metoda dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.[12] Dalam Negara Hukum Modern, undang-undang diharapkan mampu untuk ”berjalan di depan” memimpin dan membimbing perkembangan serta perubahan masyarakat.[13] Sesuai dengan yang diungkapkan Koopmans, bahwa kondisi tersebut menjadikan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak lagi dilakukan dengan kodifikasi melainkan menjadi modifikasi.[14] Undang-undang yang dibuat dengan cara modifikasi lebih menitikberatkan kepada perubahan dalam kehidupan masyarakat (social modification), karena tidak lagi mengumpulkan nilai-nilai atau norma-norma yang sudah lama mengendap dalam masyarakat.


Pernyataan bahwa “undang-undang harus mampu memimpin dan membimbing perkembangan serta perubahan masyarakat” dan undang-undang yang dibentuk dengan modifikasi, membawa konsekuensi logis bahwa akan muncul norma dan pengetahuan baru yang dibawa kedalam masyarakat oleh suatu undang-undang. Layaknya sesuatu hal yang baru, tentunya tidak bisa serta merta diterima dan berjalan secara efektif hingga mencapai tujuan yang diinginkan. Perlu ada suatu proses yang ditempuh untuk masyarakat beradaptasi terhadap undang-undang tersebut. Sehingga sangat jelas bahwa dalam pembentukan undang-undang di era negara hukum modern ini, daya laku (validitas) dari suatu undang-undang dihadapkan dengan adanya daya guna (efficacy) dari undnag-undang tersebut.[15] Suatu peraturan perundang-undangan sudah dapat dikatakan memiliki daya laku ketika peraturan perundang-undangan tersbut dibentuk oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya.[16] Sedangkan daya guna pada suatu peraturan perundang-undangan dapat dilihat dari apakah suatu peraturan perundang-undangan, yang telah memiliki daya laku, dapat berdaya guna secara efektif di masyarakat, atau apakah peraturan perundang-undangan tersebut ditaati atau tidak.[17]


Negara Indonesia sebagai negara hukum modern dan juga welfare state, tentunya membutuhkan undang-undang yang berkualitas. Karena bagaimana mungkin akan terjadi penegakan hukum dan kesejahteraan pada masyarakat apabila hukumnya sendiri tidak berkualitas, dan jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan di masyarakat.[18] Undang-undang yang berkualitas dalam hal ini, diartikan sesuai dengan tujuan dari negara hukum modern dan welafare state, yaitu undang-undang yang mampu berperan sebagai pemimpin dan pembimbing perkembangan serta perubahan masyarakat dan undang-undang yang mampu menciptakan sistem untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia. Dalam batasan pengertian “undang-undang yang berkualitas” diatas, jelas bahwa undang-undang menjadikan masyarakat sebagai objeknya, dimana pada akhirnya undang-undang harus mampu menggerakan masyarakat tersebut menuju suatu kondisi baru yang lebih baik.[19]


Proses pembentukan undang-undang atau proses legislasi haruslah dimaknai sebagai proses pembentukan norma-norma baru yang akan menjadi panduan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan kehidupan bermasyarakat,[20] bukan hanya pembentukan peraturan semata dalam tataran prosedur dan kewenangan formal. Sehingga pembentukan undang-undang harus diawali dengan suatu penelitian hukum yang mampu memecahkan suatu masalah dalam kehidupan hukum, mampu mengungkapkan kenyataan-kenyataan tentang hukum yang berlaku dan berlakunya hukum dalam masyarakat,[21] mampu menemukan norma yang dikehendaki dan tidak dikehendaki dalam hidup dan kehidupan masyarakat,[22] serta mampu mengidentifikasi dampak apa saja yang akan dihasilkan oleh suatu rancangan undang-undang ketika rancangan undang-undang tersebut sudah menjadi undang-undang dan diimplementasikan.[23] Sehingga undang-undang tersebut mampu bertanggungjawab secara sosial.


Penelitian hukum bukan tidak diakui dalam proses pembentukan undang-undang di Indonesia. Proses pembentukan undang-undang mengenal penelitian hukum, yang hasil penelitiannya dituangkan dalam suatu naskah, yaitu disebut Naskah Akademik. Dalam pasal 1 angka 7 Perpres Nomor 68 tahun 2005 (selanjutnya disebut Perpres 68/2005), sebagai peraturan turunan dari UU 10/2004, disebutkan bahwa

“Naskah Akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan Undang- Undang”


Pasal diatas dengan jelas mengaharapkan bahwa suatu undang-undang, dalam pembentukannya, harus memiliki dasar ilmiah yang jelas terlebih dahulu. Secara definisi, Naskah Akademik memiliki peran yang fundamental dalam proses pembentukan undang-undang, karena di dalam Naskah Akademik itulah paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh undang-undang dirumuskan secara terperinci dengan pendekatan ilmiah.[24] Sehingga diharapkan Naskah Akademik adalah dasar berpijak dalam pembahasan suatu rancangan undang-undang. Hal senada diungkapkan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,LL.M., yang menyatakan bahwa Naskah Akademik adalah pedoman bagi perumusan suatu rancangan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat oleh pemerintah.[25] Selain itu, menurut Prof. Jimly Asshiddiqie, SH, Naskah Akademik adalah rancangan atau draft undang-undang yang bersifat akademik[26]. Lebih lanjut Prof. Jimly menyatakan bahwa,

”Naskah rancangan akademik suatu undang-undang disusun sebagai hasil kaiatan penelitian yang bersifat akademik sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, objektif, dan impersonal. Karena itu, pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi tentulah berisi ide-ide normatif yang mengandung kebenaran ilmiah dan diharapkan terbebas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat pribadi atau kelompok, kepentingan politik golongan, kepentingan politik kepartaian, dan sebagainya.”[27]


Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa Naskah Akademik dibuat dari mulai tahapan perencanaan[28][29] dalam pembuatan undang-undang. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Padmo Wahyono, dimana Padmo Wahyono membagi pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi 3(tiga) tahap, yaitu pra-legislasi, legislasi, dan pasca legislasi. Proses pengkajian, penelitian, dan penyusunan Naskah Akademik termasuk dalam tahap pra-legislasi. Pentingnya suatu Naskah Akdemik telah disadari oleh DPR dan Presiden. Hal ini terlihat dari kesepakatan antara DPR dan Presiden ketika menyusun Program Legislasi Nasional (selanjutnya disebut Prolegnas) 2004-2009 untuk selalu menyertakan Naskah Akademik dalam pengusulan rancangan undang-undang.[30]


Dalam pasal 5 ayat (3) Perpres 68/2005 disebutkan bahwa Naskah Akademik paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Dengan kata lain, penelitian hukum yang dilakukan untuk membuat Naskah Akademik suatu rancangan undang-undangn, minimal harus memuat hal-hal yang disebutkan dalam pasal 5 ayat (3) Perpres 68/2005. Dalam batasan minimal materi dari Naskah Akademik tersebut dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu pertama dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis dari rancangan undang-undang, dan yang kedua adalah pokok dan lingkup materi yang akan diatur. Terkait dengan dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis, menurut Prof. Dr. Sudikno Metrokusumo, SH, ketiga hal tersebut merupakan persyaratan dari suatu undang-undang memiliki kekuatan berlaku[31]. Perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa kekuatan berlaku harus dipisahkan dari kekuatan mengikat dari suatu undang-undang[32]. Apabila diperbandingkan dengan tori daya laku (validity) dan daya guna (efficacy), kekuatan mengikat bersandingan dengan daya laku karena kedua hal ini mengatur bahwa suatu undang-undang mulai berlaku dan mengikat pada saat diundangkan. Sedangkan kekuatan berlaku bersandingan dengan daya guna dari suatu undang-undang karena kedua hal tersebut menyangkut pada kegunaan pada saat berlakunya suatu undang-undang secara operasional.


Diakuinya Naskah Akademik dalam proses pembuatan undang-undang di Indonesia, dalam pelaksanaannya, ternyata tidak serta merta membuat undang-undang menjadi berkualitas, terutama dalam aspek empiris. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan membagi kelemahan undang-undang dalam aspek empiris tersebut menjadi 5(lima) kelompok, yaitu

  1. undang-undang yang tidak efektif dalam pencapaian tujuan yang diharapkan,
  2. undang-undang yang tidak implementatif,
  3. undang-undang yang tidak responsif dalam melihat reaksi masyarakat dalam perancangan dan pembahasannya,
  4. undang-undang yang dengan kehadirannya malah menghasilkan masalag baru, dan
  5. undang-undang yang tidak relevan dengan permasalahan dan kebutuhan dari masyarakat.[33]

Kelemahan-kelemahan dalam undang-undang menimbulkan berbagai macam fenomena yang terjadi di masyarakat, yaitu banyaknya undang-undang yang hanya menjadi ”macan kertas” saja karena tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, munculnya banyak aksi protes masyarakat terhadap suatu undang-undangan bahkan ketika undang-undang tersebut masih dalam bentuk rancangan undang-undang, dan yang paling baru adalah maraknya masyarakat yang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi bahkan tidak sedikit pula permohonan yang dikabulkan.


Dalam penjelasan sebelumnya, secara umum menyatakan bahwa Naskah Akademik memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk undang-undang yang berkualitas demi menciptakan Negara Hukum Modern dan Welfare State di Indonesia. Dimana hal tersebut pun telah diakui oleh DPR dan Presiden dengan adanya kesepakatan dalam pembuatan Prolegans 2004-2009 untuk membuat Naskah Akademik di setiap pengusulan rancangan undang-undang. dalam pengusulan. Namun uniknya, dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundnag-Undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004) tidak ada satupun pasal atau penjelasan pasal yang mengatur tentang Naskah Akademik, dan pada Perpres 68/2005 Naskah Akademik hanya merupakan hal yang fakultatif. Arti dari sebuah pasal yang bersifat fakultatif adalah suatu kebolehan, atau dengan kata lain apabila seseorang yang ingin melakukan perbuatan tertentu, ia bebas untuk menggunakan atau tidak menggunakan kaedah hukum yang mengatur perbuatan tersebut, akan tetapi apabila ia menggunakannya maka ia terikat.[34] Hal tersebut tedapat dalam pasal 5 ayat (1) Perpres No. 68/2005 yang menyatakan bahwa Pemrakarsa dalam menyusun Rancangan Undang-Undang dapat terlebih dahulu menyusun Naskah Akademik mengenai materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang. Fenomena ini menjadi sangat menarik karena dalam tataran teknis, Naskah Akademik dirasa sangat diperlukan tetapi dalam konsep proses pembuatan undang-undang secara umum, Naskah Akademik mengatakan sebaliknya. Oleh karena itu, sangat menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan pelaksanaan Naskah Akademik dalam proses pembuatan undang-undang di Indonesia, serta peran dari Naskah Akademik dalam pembentukan undang-undang yang berkualitas demi terciptanya Negara Hukum Modern dan Welfare State di Indonesia.



[1] Indonesia, Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 10 tahun 2004, LNRI No 53 tahun 2004, TLN No. 4389, ps. 1 ayat (3)

[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pasca perubahan keempat, ps. 1 ayat (3)

[3] Jazim Hamidi, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam Sorotan: Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Jakarta: PT Tatanusa, 2005), hlm. 1

[4] Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan : Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta : Kanisius, 1998), hlm. 1

[5] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 : Sesuai Dengan Urutan BAB, Pasal, dan Ayat (Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008), hlm. 48

[6] Ibid.

[7] Farida, loc.cit.

[8] Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik (Yogyakarta : Uiversitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008), hlm. 59

[9] Ibid., hlm. 54

[10] Ibid., hlm. 59

[11] Majelis, loc.cit., hlm. 47

[12] Tim Pengajar Teori Perundang-Undangan, Teori Perundang-Undangan (Depk : Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 36-37

[13] Ibid., hlm. 37

[14] Ibid

[15] Farida, loc.cit., hlm. 39

[16] Ibid

[17] Ibid

[18] Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Penganta r(Yogyakarta : Liberty, 2002), hlm. 146

[19] Tim Peneliti PSHK, Studi Tata Kelola Proses Legislasi ( Jakarta : PSHK, 2008), hlm. 134

[20] Ibid, hlm. 132

[21] Jeane Neltje Saly, “Penelitian Hukum dan Program Legislasi Nasional,” (Makalah disampaikan pada Forum Dialog Hukum Urgensi Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pusat dan Daerah, Jakarta 21 November 2007), hlm. 5

[22] Lasro Marbun, “Penelitian Hukum dan Pembentukan Peraturan Daerah,” (Makalah disampaikan pada Forum Dialog Hukum Urgensi Penelitian Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pusat dan Daerah, Jakarta 21 November 2007), hlm. 1

[23] Ibid., hlm. 160

[24] Cipto, loc.cit., hlm. 176

[25] Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan (2) : Proses dan Teknik Penyususnan (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 241

[26] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta : Mahkamah Konstitusi, 2006), hlm. 320

[27] Ibid

[28] Dalam pasal 1 angka 1 UU No. 10 tahun 2004 dinyatakan bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mencakup perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

[29] Ahmad Ubbe, Kedudukan dan FungsiPenelitian Hukum dalam Proses Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan ( Jakarta : BPHN, 1999), hlm.29

[30] Tim Peneliti, loc.cit., hlm. 177-178

[31] Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta : Liberty, 2002), hlm. 87

[32] Ibid.

[33] Erni Setyowati dkk, Panduan Praktis Pemantauan Legislasi ( Jakarta : PSHK, 2007), hlm. 3-4

[34] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Penganta(Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar