2009/10/16

Laskar Pelangi dan BHP

Laskar Pelangi adalah sebuah novel karya Andrea Hirata yang penuh inspirasi sekaligus mampu menyihir para pembacanya untuk lebih semangat dalam menjalani hidup. Secara umum kisahnya berkisar pada sebuah Sekolah Dasar bernama SD Muhammadiyah, yang berada di pedalaman Belitong, yang berjuang untuk tetap bisa berdiri dengan segala keterbatasan yang dimiliki, baik fasilitas maupun tenaga pengajar. Disana bersekolahlah seorang Lintang, anak seorang nelayan yang harus menempuh berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai sekolahnya. Ada juga Ikal, seorang anak buruh PN Timah, yang karena status dan kemampuan ekonomi dari orangtuanya tersebut ia tidak bisa ikut bersekolah di SD PN Timah yang terkenal dengan kualitasnya yang baik dan bayarannya yang mahal. Dan ada juga Mahar, anak seorang kuli panggul, yang memiliki jiwa seni yang luar biasa hebat. Lintang, Ikal, dan Mahar adalah tiga dari sepuluh anggota Laskar Pelangi. Ketiga anak tersebut dipersatukan dalam satu keadaan yang sama, yaitu sama-sama hidup dalam kekurangberuntungan secara ekonomi sehingga pendidikan yang mereka dapatkan pun harus pas-pasan atau bahkan sangat kurang. Menarik membaca kisah Laskar Pelangi dalam meraih cita-cita mereka masing-masing, dan semakin menarik lagi ketika mengetahui bahwa kisah tersebut adalah kisah nyata perjalanan hidup seorang Andrea Hirata (Ikal). Ironis melihat kondisi dunia pendidikan yang digambarkan dalam cerita tersebut, ketika pembangunan digembar-gemborkan di ibukota negara, namun pendidikan di daerah pedalaman belitong seakan terlupakan. Memang cerita Laskar Pelangi adalah potret Pendidikan Indonesia pada kurang lebih 30 tahun silam, namun pertanyaannya adalah apakah dengan seiring semakin tuanya umur bangsa ini, pendidikan mendapat tempat yang layak sebagai mesin pencetak generasi emas bangsa ini? Ternyata jawabannya adalah tidak, bahkan pendidikan hari ini menuju kepada Pendidikan yang dijadikan komoditas bisnis dengan adanya RUU Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).

RUU BHP adalah suatu rancangan produk hukum untuk mengaktifkan konsep pengelolaan Pendidikan Nasional yang melibatkan peran serta masyarakat mengiringi kewajiban pemerintah dalam mengelola (baca: membiayai) jalannya proses pendidikan. Konsep pengelolaan ini diharapkan dapat menciptakan Pendidikan yang partisipatif, transparan, dan akuntabel guna menciptakan peningkatan mutu. RUU BHP adalah buah dari pasal 53 UU Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa semua satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk BHP.

Paradigma yang dimunculkan dalam pengelolaan pendidikan konsep BHP adalah dengan mengedepankan Lembaga Pendidikan yang berbentuk privat, dimana masyarakat diharapkan dapat menjadi penopang utama dalam pembiayaan proses pendidikan. Secara otomatis, hal tersebut membuat peran Pemerintah berkurang, sehingga proses pendidikan tidak bergantung lagi kepada anggaran Pemerintah, yang sudah menjadi rahasia umum, sangat sedikit dianggarkan untuk sektor Pendidikan karena habis untuk membayar cicilan dan bunga hutang luar negeri yang mencapai 134 triliun tiap tahun.

Konsepsi berfikir untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan (baca: pembiayaan) pendidikan dapat dikatakan upaya Pemerintah untuk lepas tangan terhadap pembiayaan Pendidikan Nasional. Upaya lepas tangan pemerintah tersebut jelas melanggar UUD 1945 terutama pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa Setiap Warga Negara berhak mendapat Pendidikan dan ayat (2) yang menyatakan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Sedangkan dalam pasal 28C UUD 1945 dikatakan bahwa Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. Dalam kedua pasal tersebut jelas bahwa posisi dari calon peserta didik adalah warga negara yang berhak mendapat pendidikan, bukan seorang konsumen dimana pendidikan adalah komoditi yang dijual. Namun apa yang terjadi, RUU BHP muncul dengan mengedepankan paradigma bahwa para calon peserta didik adalah konsumen yang harus membeli pendidikan, bukanlah seorang warga negara yang haknya dijamin oleh UUD 1945 untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini dapat berdampak buruk, karena akan menimbulkan kesenjangan sosial. Bagi calon peserta didik yang mempunyai modal atau dana besar untuk pendidikan maka ia akan mendapatkan pendidikan yang baik, sedangkan bagi yang bermodal pas-pasan atau bahkan tidak ada, tidak akan mendapat kualitas pendidikan yang baik atau bahkan sama sekali tidak bersekolah.

Dalam konteks Hak Asasi Manusia (HAM), munculnya RUU BHP berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Dalam Deklarasi Unversal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 26 jo. Pasal 13 Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ekosob) menjamin bahwa hak pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh sebuah negara atas warga negaranya. Konvenan ekosob tersebut sudah dirativikasi oleh Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005, dimana dalam pasal 14 menyebutkan bahwa Negara peserta kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Untuk pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara, ada 4(empat)kriteria yang harus dipenuhi suatu negara. Hal tersebut diatur dalam General comments E/C.12/1999/10 yang dibuat oleh Komite Hak-Hak Ekosob PBB (CESCR), yaitu Ketersediaan, Aksesibilitas (fisik dan ekonomi), Akseptabilitas, dan Kemampuan Beradaptasi. Apabila melihat dari keempat kriteria tersebut, munculnya RUU BHP dapat melanggar kriteria aksesibilitas ekonomi, karena kriteria ini menuntut setiap Lembaga Pendidikan dapat diakses oleh setiap orang tanpa ada diskriminasi, termasuk diskriminasi ekonomi. Paradigma yang dimunculkan oleh RUU BHP, yaitu memandang peserta didik sebagai konsumen dan masyarakat dibebankan untuk membantu pengelolaan (baca: pembiayaan) Pendidikan, akan menimbulkan Pendidikan yang mahal dan sangat berpotensi menutup kesempatan masyarakat ekonomi lemah untuk mengecap pendidikan, terutama pendidikan yang berkualitas.

Hari ini RUU BHP memang masih dalam pembahasan, namun tanpa kita sadari cikal bakal dari konsep pengelolaan Pendidikan ala BHP sudah bisa kita rasakan. Badan Hukum Milik Negara atau biasa disebut BHMN adalah cikal bakal dari BHP. Perubahan status 4(empat) Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yaitu UI, ITB, IPB, dan UGM dapat dikatakan sebagai langkah pemanasan menjelang pemberlakuan BHP.

UI adalah salah satu PTN yang berubah status menjadi BHMN. Kebijakan yang diambil rektorat UI dalam kurun waktu 4(empat) tahun terakhir untuk menaikan beban biaya pendidikan kepada peserta didik merupakan ekses langsung dari pemberlakuan status BHMN. Kebiajakan yang diambil UI, dari mulai pemberlakuan Admission Fee sampai kenaikan Biaya Operasional Pendidikan (BOP), dilakukan dengan alasan untuk menutupi kebutuhan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar (fasilitas, gaji dosen, dll) dan meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Alasan-alasan tersebut sama dengan alasan yang dikemukakan dalam pembentukan RUU BHP. Sehingga fakta tersebut semakin menjelaskan masa depan Pendidikan Nasional dibawah mekanisme BHP akan mengakibatkan pendidikan menjadi sangat mahal dirasakan masyarakat.

Dalam pembahasan RUU BHP pemerintah dan para Wakil Rakyat seakan lupa bahwa tingkat kemampuan masyarakat Indonesia belum merata dari Sabang sampai Merauke, terutama dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Dalam konteks UI atau Lembaga –Lembaga Pendidikan lain yang telah mempunyai nama besar, memang masih banyak yang bisa dilakukan untuk mendapatkan dana untuk menutupi kebutuhan biaya operasional pendidikan, sehingga tidak mengandalkan kenaikan Biaya Pendidikan yang dibebankan kepada peserta didik tiap tahunnya. Namun bagaimana dengan Lembaga-Lembaga Pendidikan lain, mulai dari tingkat SD hingga SMA ditambah dengan PT, yang belum memiliki nama besar dan kualitas yang baik, karena fasilitas dan tenaga pengajar yang mereka miliki pun sangat minim. Sehingga dapat dikatakan kebijakan tersebut hanya akan membuat sekolah bagus tambah bagus (dan mahal), dan sekolah kurang bagus dan minim peminat akan lama kelamaan hilang ditelan roda kapitalisme.

Pemaparan fakta-fakta diatas jelas menyatakan bahwa BHP belum dapat menjawab permasalahan pendidikan dewasa ini. Sesuatu yang tidak cocok dengan karakter bangsa Indonesia yang penuh dengan kebersamaan dan kekeluargaan (bukan individualistis) harus terus menjadi acuan. Kita pun harus ingat bahwa Ir. Soekarno, sang founding father, sangat menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat gotong-royong untuk kemudian dijadikan sebagai kepribadian bangsa. Dalam pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita bangsa Indonesia, pun dengan jelas dikatakan bahwa salah satu kewajiban Pemerintah Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sekolah-sekolah semacam SD Muhammadiyah dalam kisah Laskar Pelangi, masih banyak terdapat dipelosok-pelosok daerah di sekitar Indonesia saat ini. Sekolah-sekolah semacam itu (mungkin), tiga sampai empat tahun kedepan, tidak akan kita temukan lagi di negeri ini. Tetapi hal itu bukan karena sekolah tersebut menjadi lebih baik, melainkan sekolah-sekolah tersebut terpaksa untuk ditutup karena mahalnya biaya operasional pendidikan yang harus ditanggung sehingga tidak ada lagi peserta didik yang mampu untuk bersekolah.

Pertanyaan yang kemudian relevan untuk kita pertanyakan kepada diri Kita sendiri adalah apakah bangsa ini harus terus menyia-nyiakan ribuan bakat dan kecerdasan anak-anak bangsa seperti Lintang, Ikal, dan Mahar? Dan kapankah bangsa ini akan bisa tumbuh diatas kakinya sendiri? bangsa yang dibangun oleh kecerdasan-kecerdasan anak bangsanya sendiri. Rasanya masih sangat sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika para pemimpin bangsa ini masih memandang Pendidikan sebagai suatu biaya (cost), bukan Pendidikan sebagai suatu investasi jangka panjang untuk membangun bangsa ini, sehingga dapat menjadi bangsa yang besar di masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar